Karena Ikut Suami (cerpen)


Anisa, guru IPS yang sudah mengajar 7 tahun ini tiba-tiba berlaku agak aneh. Ia memandangi diri sendiri yang tengah mengenakan seragam hari Senin. Ya, di depan cermin panjang ia mematung. Tubuhnya yang tinggi dan tegap menjadikan ia tampak wibawa dengan seragam Seninnya, lengkap kerudung biru muda.

“Tina, besok hari Senin terakhir aku memakai seragam ini.”

“Apa maksudmu, Anisa?” tanya Tina kaget. Tina yang teman sekamar ini sesama guru. Ia merasakan bahwa di sekolah tidak ada masalah pada Nisa, panggilan sehari-hari Anisa. Mereka menikmati pekerjaannya dalam suka dan duka. Bahkan, belakangan ini tidak ada tanda-tanda Nisa akan resign.

“Pikirkan dulu masak-masak, jangan terburu-buru,” pinta Tina. “Kamu sangat diperlukan. Apalagi SMP sedang berkembang, harus ada guru IPS yang kuat seperti Kamu. Kepala Sekolah gak bakalan membolehkan kamu pindah,” ledek Tina sambil memeluk bantal di ujung kasurnya.

“Aku sudah maju dan dibolehkan.”

“Beneran? Alasan apa yang kamu ajukan?”

“Aku, aku… akan ikut suami ke Bogor.”

Jawaban Nisa membungkam mulut Tina dari puluhan pertanyaan yang terkumpul di ujung mulutnya. Tiba-tiba, kedua guru ini berpandangan dengan sama-sama dalam pandangan kabur. Mata mereka basah. Ini menggambarkan aneka rasa yang hinggap dalam hati mereka masing-masing. Keduanya pun berpelukan.

Setelah beberapa lama, salah satu memberanikan diri berucap.

“Teganya, Nisa. Kau meninggalkan aku?” Tina paham sebenarnya ini pertanyaan yang tidak pantas ia ucapkan karena Nisa sudah bersuami.

“Insyaallah, kamu segera berjodoh. Aku akan doakan terus kamu, ya,” hibur Nisa seakan paham dengan yang ada dalam pikiran Tina. Kedua guru ini mendaftar menjadi guru di Yayasan yang sama secara bersamaan. Terlihat sekali keakraban mereka berdua sejak job training, bahkan mereka satu kamar kos. Ada masalah apa pun mereka saling menjadikan tempat berkeluh kesah dan saling menguatkan.

Sejak berita Nisa akan menikah, perpisahan mereka sudah Tina bayangkan bakal terjadi. Namun, kini setelah menjadi kenyataan, terasa begitu berat dan sangat mendadak.

“Apa kegiatanmu besok di sana?” Tina yang hitam manis ini bertanya untuk memecah kebekuan suasana.

“Sementara, aku akan ngajar di TPA masjid depan rumah. Tenanglah, pasti banyak yang bisa aku lakukan,” jawab Nisa setengah menghibur diri.

“Kamu bakal rindu dengan suasana sekolah yang banyak anak, banyak kelas, juga banyak kegiatan. Kamu kan paling senang lembur menjelang acara-acara sekolah?” ledek Tina disambung gelak tawa berdua. Ya, gelak tawa dalam linangan air mata.

“Pasti, aku pasti akan merindukan semuanya.”

“Baiklah, kapan kamu terakhir di Purwokerto?” tanya Tina dan dijawab Nisa akhir bulan.  “Izinkan aku membantumu. Apa yang bisa aku lakukan? Apa yang bisa aku pakai dan aku makan?”

“Ha..ha…. Kamu tidak pernah berubah. Pinter membuatku tertawa!” sahut Nisa dengan mencubit pundak Tina. “Tenang saja, barangku tidak banyak. Beres-beres besok saja, masih ada enam hari.

Malam itu, mereka menutup lembar harian mereka dengan keheningan. Setelah lembar demi lembar mereka lalui dengan cerita bersama, tidak lama lagi akan berakhir. Mereka akan membuat lembaran baru dengan cerita masing-masing. Malam itu pun, meskipun badan sudah menyatu dengan kasur, pikiran mereka belum mau istirahat. Mata terpejam, tetapi dialog dalam hati belum juga mau berhenti.

Akhirnya, Nisa pun telah pergi. Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan berlalu tanpa Nisa di kamar kos Tina. Tina tidak ada niatan untuk mencari teman lainnya. Dia nyaman dengan sekamar sendiri.

Kring…kring….

Nada dering hp Tina meronta meminta segera diangkat Tina. Rupanya panggilan masuk dari Nisa.

“Waalaikum salam, ya Nisa, pa kabar? Ada yang bisa aku bantu? Bagaimana TPA-mu? Nisa, aku kangen….” Suara Tina merengek dengan memberondongkan pertanyaan.

“Alhamdulillah aku baik,” balas Nisa kalem. “Tina, aku mau cerita. Sebenarnya waktu aku pamit ke KS, aku hanya coba-coba.”

“Maksud kamu, Nis? Kamu tidak ada niat banget untuk resign?”

“Em, iya….”

“Ya Allah, Nisa? Mengapa kamu lakukan?”

“Maaf, Tin. Karena waktu itu KS begitu mudah melepaskan, tidak melarang sama sekali. Aku jadi 200% semangat mundur. Aku sebenarnya berharap ada jawaban yang lain, toh suamiku sebenarnya tidak masalah aku tetap di Purwokerto.”  

 “Maksud kamu, kamu ingin KS melarang, nggondeli kamu, menahan jangan mundur dulu, begitu?” Tina nyerocos lagi.

“Iya, waktu KS menjawab silakan, aku seperti tidak dibutuhkan, Rin.”

“Kamu salah Nisa, bukan itu maksud KS. Ia mendukung kamu menjadi istri yang taat, salehah, dan dekat dengan suami. Jangan LDR!” tambah Tina. “Ah, maaf. Kok jadi suaraku tinggi dan kasar. Aku emosi jadinya. Maaf….”

“Gak papa, Tina. Aku memang salah.”

“Kalau pamitmu untuk ikut suami, jelas KS mengizinkan, beliau itu sebenarnya tidak tega kalau kita, kaum hawa ini bekerja di luar rumah, apalagi sampai lembur-lembur. Makanya istri beliau hanya di rumah saja, kan?” Jawaban Tina seperti dosen di depan kelas yang memarahi mahasiswanya. Seperti luas empat persegi, panjang kali lebar.

“Iya, Tin. Aku paham. Aku hanya tiba-tiba kangen suasana sekolah.”

“Bagaimana kalau kamu masuk lagi? Aku coba bantu supaya kamu boleh mendaftar lagi?” pinta Tina yang semangat berinisiatif.

“Tidak, jangan…jangan!” tolaknya atas tawaran Tina.

“Nisa, kapan kamu ada waktu luang main ke Purwokerto, ya! Kita jalan-jalan berdua seperti dulu,” ajak Tina.

“Bagaimana kalau kamu yang ke Bogor? Belum pernah jalan-jalan denganku di Bogor, kan?” Gantian Nisa yang mengajak jalan-jalan. “Kedatanganmu akan mengobati kangenku pada Purwokerto.”

“Memangnya wajahku seperti mendoan dan soto Sokaraja?” jawab Tina ketus. “Tapi, bolehlah. Isyaallah habis rapotan, ya,” sambung Tina mantap.

 Beberapa bulan kemudian, jauh setelah Tina berkunjung ke Bogor, Tina menyapa Nisa dalam chat WA.

“Assalamualaikum, Nisa. Nisa, semoga kamu dalam keadaan sehat selalu. Aku harap kamu sudah nyaman dengan kesibukanmu sekarang. Bisa beraktivitas mandiri dan selalu bisa mendampingi suami. Suami rida, insyaallah aktivitasmu berkah.” Lama Tina menunggu jawaban chat dari Nisa, tetapi tidak kunjung muncul balasannya di layar hp. “Nisa, hadir di acara pernikahanku, ya. Tanggal 2 bulan depan,” lanjutnya.

“Waalaikum salam, Tina. Maaf tadi sedang di luar,” tulis Nisa satu jam kemudian. “Alhamdulillah, selamat ya, insyaallah aku datang. Tunggu aku, ya Tina.”* 

 

3 komentar

  1. Mantap, persahabatan, tugas dinas, dan istri solehah. Keren Teh!!

    BalasHapus
  2. Cakap sekali membuat cerpen...
    Tak semua orang memiliki kemampuan seperti yg dimiliki Bu Mien...keren bingit...semangat Bunda...

    BalasHapus