Di teras, Zaza dan anak-anak ramai bermain. Bagai pasar malam,
semua mainannya dibawa keluar. Anak-anak
berebut memegang yang mereka suka. Mila
bermain boneka. Tino bermain lego.
Zaza dan Via mewarnai gambar.
“Aduh,
pensil warnaku loncat!” teriak Zaza diikuti tawa Via.
“Ayo kita selesaikan
gambar ini, Zaza!” ajak Via.
“Tino, tolong ambilkan
pensil warnaku! Itu di balakangmu,” kata Zaza. Suara itu tidak terdengar karena
Tino asyik dengan
legonya.
“Tino, tolong…!”
pintanya
lagi
dari
jarak 1,5 meter.
“Ah, ganggu saja,”
jawab Tino tanpa menoleh. Apalagi mengambilkan.
”Tino…! Sudah boleh
pinjam legoku, tidak
mau mengambilkan?” sindir
Zaza Kalimat Zaza mengagetkan Tino. Setengah melotot, dia bangkit.
“Ini, aku ambilkan.” Tino mengambilkan sambil melirik Mila.
Mila bisa memahaminya. Ia juga sering menerima sindiran seperti itu dari Zaza.
Di lapangan, Zaza
dan Via asyik dengan sepeda kecilnya masing-masing.
Datang
Arin dan adiknya, Rizal.
“Rizal, kaus itu
punyaku dulu. Masih bagus, ya?” kata Zaza keras. “Dulu
papaku beli di Bali.
Rizal yang memakai
kaus merah gambar
Leak Bali hanya
diam.
tren.
Muncul Mila dengan sepeda
barunya. Sepeda lipat
warna hitam yang lagi
“Mila, aku boleh mencoba
sepedamu?” kata Zaza.
“Gantian, kemarin kamu
naik sepedaku juga, kan? Kemarin juga kamu aku belikan es
krim. Nanti aku belikan lagi,” bujuk Zaza. Mila pun menyerahkan sepede barunya.
Entah mengapa, Mila,
Via, dan Arin
saling berpandangan. Seakan
sama isi hati mereka.
Sudah dua putaran
lapangan, Zaza mencoba
sepeda Mila. Yang
lain seperti malas-malasan melanjutkan bermain sepeda.
“Ada apa, Mila?” tanya Via seakan paham bahwa Mila akan
berbicara sesuatu.
“Zaza aneh,
sukanya begitu., jawab Mila.
“Maksud kamu?”
sergah Via.
“Tanpa dia mengatakan pemberiaannya, aku juga bakal
meminjamkan sepedaku.”
“Haha…. Persis denganku kemarin,” jawab Via dengan pecah
tawanya.
“Persis apanya?”
tanya Mila penasaran.
“Ya, begitu. Dia
mengatakan pernah memberiku jajan.”
Tiba-tiba Zaza datang, semua diam. Kemudian, semua pergi tanpa pamit
dan tanpa mengajak Zaza. Zaza
heran. Ia bengong
ditinggal sendiri. Perlahan ia kayuh seperdanya.
Beberapa meter dari lapangan, Arin berhenti karena sandal Rizal
terjatuh.
Kesempatan bagi Zaza untuk
bertanya. Zaza mempercepat sepedanya. “Rin, mengapa
semua pergi?
Tidak jadi bermain sepeda
bersama?” “Em… mungkin… karena
Zaza suka…,” kata
Arin terhenti.
“Suka apa, Rin?”
tanya
Zaza tidak sabar.
“Zaza
suka mengatakan pernah
memberi atau meminjamkan apa gitu, lah,” jawab Arin ragu. “Maaf
saya pulang dulu,”
kata Arin sambil
mengayuh sepedanya. Sementara itu, Zaza terdiam
tampak sedih. Dengan malas ia kayuh sepedanya untuk pulang.
Sampai rumah, Zaza tampak
lemas menyandarkan sepedanya. Duduk sendiri di teras.
Tiba-tiba, Kak
Habibi keluar dari rumah.
“Zaza, lelah, ya? Lelah apa
sedih?”
“Apa
sih, Kak. Aku tidaka kenapa-kenapa, kok,” jawab Zaza cemberut.
“Lihat youtube, ah.”
“Kak, tolong carikan
di google, dong.” “Tentang apa?”
“Tentang suka mengatakan pemberian. Ya
seperti itu,” kata Zaza penassaran.
“Maksud Zaza mengatakan yang sudah diberikan?” “Iya, benar!”
“Oh, itu namanya mengungkit-ungkit
pemberian. Gampang, nih sudah ketemu. Baca sendiri, ya. Kakak minum dulu,” kata
Kak Habibi sambil masuk rumah.
“Siap, Kak,” jawab Zaza semangat.
“Sudah selesai?” tanya
Kak Habibi.
“Sudah
ni, Kak. Oya, Kak. Kakak pernah mengungkit pemberian atau
bantuan
kepada teman?”
“Itu
kamu, Zaza. Kakak
tidak pernah. Maaf,
ya. Bisa-bisa Kakak
tidak punya teman. Kalau
kamu memberi sesuatu, lupakan saja. Dia mau baik atau jahat, terserah mereka.
Dia mau ingat atau lupa dengan kebaikan kita, suka-suka mereka. Cukup
malaikat yang mencatat kebaikan kita. Tapi,
kalau orang lain
baik pada Zaza, nah…,
yang ini jangan
sampai dilupakan. Bagaimana, Kakak seperti ustaz, nggak?” kata Kak Habibi sampil mengangkat kerah baju. “
“Ih,
Kakak, bisa saja.”
Hati Zaza tersentak oleh jawaban itu.
Padahal, menurut Zaza
teman-teman suka kalau Zaza beri atau
kasih pinjam sesuatu. Hal ini karena
dulu memang Zaza pernah takut bila tidak
punya teman. Tidak suka
karena Zaza ungkit
mungkin, ya? tanya Zaza dalam hati. Mengapa Kakak tidak menasihatiku dari dulu? Mungkin karena dia laki-laki, sudah SMA pula. Cuek dengan
Zaza. Katanya lagi dalam hati.
Mengurangi pahala dan menyakiti hati teman? Ampun ya, Allah. Zaza tersadar setelah membaca
tulisan di internet.
“Hei,
kok melamun. Merasa, ya?”
“Kakak,
bisa saja,” kata Zaza malu. Ia ambil boneka bantal
di sampingnya terus dipukulkan
kepada Kak Habibi. Bercanda layaknya kakak dan adik. Kak Habibi ikut tertawa dan mengusap kepala Zaza.**


Posting Komentar