Lupakan Saja (cerita anak Islami)

 


Di teras, Zaza dan anak-anak ramai bermain. Bagai pasar malam, semua mainannya dibawa keluar. Anak-anak berebut memegang yang mereka suka. Mila bermain boneka. Tino bermain lego. Zaza dan Via mewarnai gambar.

“Aduh, pensil warnaku loncat!” teriak Zaza diikuti tawa Via.

“Ayo kita selesaikan gambar ini, Zaza!” ajak Via.

“Tino, tolong ambilkan pensil warnaku! Itu di balakangmu,” kata Zaza. Suara itu tidak terdengar karena Tino asyik dengan legonya.

Tino, tolong…!” pintanya lagi dari jarak 1,5 meter.

“Ah, ganggu saja,” jawab Tino tanpa menoleh. Apalagi mengambilkan.

”Tino…! Sudah boleh pinjam legoku, tidak mau mengambilkan?” sindir Zaza Kalimat Zaza mengagetkan Tino. Setengah melotot, dia bangkit.

“Ini, aku ambilkan.” Tino mengambilkan sambil melirik Mila. Mila bisa memahaminya. Ia juga sering menerima sindiran seperti itu dari Zaza.

Di lapangan, Zaza dan Via asyik dengan sepeda kecilnya masing-masing.

Datang Arin dan adiknya, Rizal.

“Rizal, kaus itu punyaku dulu. Masih bagus, ya?” kata Zaza keras. “Dulu

papaku beli di Bali. Rizal yang memakai kaus merah gambar Leak Bali hanya diam.


 


 

tren.


Muncul Mila dengan sepeda barunya. Sepeda lipat warna hitam yang lagi

 

 

“Mila, aku boleh mencoba sepedamu?” kata Zaza. “Gantian, kemarin kamu


 

naik sepedaku juga, kan? Kemarin juga kamu aku belikan es krim. Nanti aku belikan lagi,” bujuk Zaza. Mila pun menyerahkan sepede barunya.

Entah mengapa, Mila, Via, dan Arin saling berpandangan. Seakan sama isi hati mereka.

Sudah dua putaran lapangan, Zaza mencoba sepeda Mila. Yang lain seperti malas-malasan melanjutkan bermain sepeda.

“Ada apa, Mila?” tanya Via seakan paham bahwa Mila akan berbicara sesuatu.

“Zaza aneh, sukanya begitu., jawab Mila.

“Maksud kamu?” sergah Via.

“Tanpa dia mengatakan pemberiaannya, aku juga bakal meminjamkan sepedaku.”

“Haha…. Persis denganku kemarin,” jawab Via dengan pecah tawanya.

“Persis apanya?” tanya Mila penasaran.

“Ya, begitu. Dia mengatakan pernah memberiku jajan.”


Tiba-tiba Zaza datang, semua diam. Kemudian, semua pergi tanpa pamit dan tanpa mengajak Zaza. Zaza heran. Ia bengong ditinggal sendiri. Perlahan ia kayuh seperdanya.

Beberapa meter dari lapangan, Arin berhenti karena sandal Rizal terjatuh.

Kesempatan bagi Zaza untuk bertanya. Zaza mempercepat sepedanya. Rin, mengapa semua pergi? Tidak jadi bermain sepeda bersama?“Em… mungkin… karena Zaza suka…,” kata Arin terhenti.

Suka apa, Rin? tanya Zaza tidak sabar.

“Zaza suka mengatakan pernah memberi atau meminjamkan apa gitu, lah,” jawab Arin ragu. “Maaf saya pulang dulu,” kata Arin sambil mengayuh sepedanya. Sementara itu, Zaza terdiam tampak sedih. Dengan malas ia kayuh sepedanya untuk pulang.

Sampai rumah, Zaza tampak lemas menyandarkan sepedanya. Duduk sendiri di teras.

Tiba-tiba, Kak Habibi keluar dari rumah.

Zaza, lelah, ya? Lelah apa sedih?


 

“Apa sih, Kak. Aku tidaka kenapa-kenapa, kok,” jawab Zaza cemberut.

“Lihat youtube, ah.”

“Kak, tolong carikan di google, dong.” Tentang apa?

“Tentang suka mengatakan pemberian. Ya seperti itu,” kata Zaza penassaran.

“Maksud Zaza mengatakan yang sudah diberikan?” “Iya, benar!”

“Oh, itu namanya mengungkit-ungkit pemberian. Gampang, nih sudah ketemu. Baca sendiri, ya. Kakak minum dulu,” kata Kak Habibi sambil masuk rumah.

“Siap, Kak,” jawab Zaza semangat.

Sudah selesai? tanya Kak Habibi.

“Sudah ni, Kak. Oya, Kak. Kakak pernah mengungkit pemberian atau

bantuan kepada teman?”

“Itu kamu, Zaza. Kakak tidak pernah. Maaf, ya. Bisa-bisa Kakak tidak punya teman. Kalau kamu memberi sesuatu, lupakan saja. Dia mau baik atau jahat, terserah mereka. Dia mau ingat atau lupa dengan kebaikan kita, suka-suka mereka. Cukup malaikat yang mencatat kebaikan kita. Tapi, kalau orang lain baik pada Zaza, nah…, yang ini jangan sampai dilupakan. Bagaimana, Kakak seperti ustaz, nggak? kata Kak Habibi sampil mengangkat kerah baju.

“Ih, Kakak, bisa saja.”


 

Hati Zaza tersentak oleh jawaban itu. Padahal, menurut Zaza teman-teman suka kalau Zaza beri atau kasih pinjam sesuatu. Hal ini karena dulu memang Zaza pernah takut bila tidak punya teman. Tidak suka karena Zaza ungkit mungkin, ya? tanya Zaza dalam hati. Mengapa Kakak tidak menasihatiku dari dulu? Mungkin karena dia laki-laki, sudah SMA pula. Cuek dengan Zaza. Katanya lagi dalam hati. Mengurangi  pahala  dan  menyakiti  hati  teman?  Ampun  ya,  Allah.  Zaza  tersadar setelah membaca tulisan di internet.

Hei, kok melamun. Merasa, ya?

“Kakak, bisa saja,” kata Zaza malu. Ia ambil boneka bantal di sampingnya terus dipukulkan kepada Kak Habibi. Bercanda layaknya kakak dan adik. Kak Habibi ikut tertawa dan mengusap kepala Zaza.**

 

 

Posting Komentar