Matahari makin condong ke barat. Para penghuni hutan menuju sarangnya. Namun, berbeda dengan Tapir. Ia justru ingin keluar. Bagi keluarga Tapir, malam hari adalah suasana yang paling menyenangkan untuk bermain dan mencari makanan. Ya, keluarga Tapir asli Sumatera. Mereka biasa tinggal di dekat sumber air. Malam itu ia keluar ingin mencari buah ara, makanan kesukaannya.
“Lalala… lalala…. Asyik, hutan mulai sepi. Aku paling suka. Hewan-hewan hutan mulai tidur, aku bebas mencari makanan,” ucapnya riang. Meskipun badannya gembul, ia lincah berjalan ke sana kemari. Makanan kesukaanya adalah buah ara. Tapir sangat suka karena manis dan lezat. Walaupun pohon buah ara menjulang tinggi, ia selalu bisa mendapatkan buahnya.
“Wah, buah ara yang matang-matang, menempel di sepanjang batang pohon. Apalagi, di bagian bawah banyak sekali. Aku tidak kerepotan mengambilnya.” Tapir memetik dengan moncongnya. Ia makan beberapa buah.
Pagi pun tiba. Seekor burung enggang hinggap di pohon ara. Rupanya ini pertama kalinya ia hinggap di pohon itu. Ia tampak lahap makan buah ara dengan paruhnya yang panjang dan besar.
“Aku kenyang. Terima kasih ya, pohon ara, buahmu enak sekali,” ucap Enggang. Angin sepoi-sepoi membuat Enggang ngantuk dan tertidur.
Menjelang siang, Tapir mendekat ke pohon ara. Buru-buru ia menyeruduk batang pohon Ara. Ia bahkan tidak sempat makan, tetapi ia mengambil beberapa buah.
“Aduh, siapa ini? Aku hampir jatuh!” teriak Enggang. Ia kaget dan terbangun karena guncangan pohon ara. Tiba-tiba, ujung matanya tertuju ke arah sosok hewan hitam gemuk di bawah pohon. Moncong hewan mirip babi, tapi hidungnya seperti ujung belalai gajah. Sedangkan Tapir, ia hanya menoleh ke atas lalu menghilang karena takut. Ia enggan bertemu hewan lain.
“Ini benar-benar aneh. Aku baru sekali ini melihat hewan seperti itu. Siapa dia? Mengapa buru-buru?” bisik Enggang tak habis pikir. Enggang makin bingung melihat bagian punggung Tapir. Seperti ada kain putih menutupi tubuhnya sampai bagian perut.
Hari pun berganti. Udara pagi sangat sejuk. Suara hewan-hewan hutan bersautan menenteramkan hati.
Bum…bum….
Tanah bergetar oleh pijakan kawanan gajah. Gajah-gajah mencari makan. Di sekitar pohon ara banyak rumput. Salah satu gajah menepi.
“Rumput di sini sepertinya lezat sekali,” ucap Gajah dengan menyodorkan belalainya. Beberapa batang ia cabut sekaligus. Masuklah daun-daun segar itu ke dalam mulut gajah.
Kres… kres… kres….
Terdengar suara Gajah mengunyah rumput. Ia sangat lahap. Pemandangan ini mengagetkan Enggang yang tiba-tiba hinggap di pohon ara lagi.
“Hai, kamu yang kemarin mengganggu tidurku, ya?” bentak Enggang.
“Siapa kamu? Aku baru datang, sudah ada yang marah-marah,” jawab Gajah tenang. ”Aku dan rombongan baru saja sampai dari perjalanan,” tambahnya.
“Betulkah?” tanya Enggang ragu.
“Eh, kamu siapa? Paruhmu bagus dan indah. Ada tanduk di kepalamu, seperti helm,” tanya Gajah.
“Oh, kenalkan aku Enggang. Aku mencari makan di pohon ini. Maaf aku tadi menuduhmu.”
“Apakah ia yang mengganggumu mirip aku?” selidik Gajah.
“Lebih kecil sedikit dan memiliki hidung seperti kamu. Tapi, ada warna putih di punggungnya. Sedangkan kamu tidak,” jelas Enggang. “Sebentar, sepertinya ia memiliki hidung lebih pendek. Tidak seperti belalaimu.”
“Tidak salah lagi, ia Tapir,” jelas Gajah.
Tanpa diduga, Tapir sudah di belakang Gajah.
“Nah, itu dia!” teriak Enggang menunjuk Tapir. “Mengapa kemarin kamu mengganggu tidurku, Tapir? Jangan lari lagi!”
“Sabar Enggang,” pinta Gajah.
“Maaf, kemarin aku buru-buru mencari makan untuk emakku. Emakku sedang sakit. Dan… dan…,” suara Tapir terputus.
“Katakan saja, Tapir!” bujuk Gajah.
“Dan sebenarnya, aku biasa mencari makan pada malam hari. Aku tidak biasa bertemu hewan-hewan lain,” jawab Tapir menunduk.
“Oh, betulkah?” selidik Enggang.
“Benar, Enggang. Memang mereka biasa keluar malam hari. Berbeda denganku,” sela Gajah.
“Lah, ini kamu keluar siang lagi, Tapir?” tanya Enggang.
“Emakku hampir sembuh karena makan buah ara kemarin. Sekarang aku ingin mencari lagi untuknya.”
“Rupanya kamu anak berbakti. Syukurlah emakmu sudah lebih baik,” sanjung Gajah.
“Maaf Enggang, kemarin sudah mengagetkanmu.”
“Baiklah. Lupakan saja kejadian kemarin. Aku sudah memaafkanmu. Semoga Emak semakin sehat,” balas Enggang. “Bagaimana kalau kita berteman? Kita bisa makan buah ara bersama-sama,” ajak Enggang.
“Em, bagaimana, ya? Em…, baiklah. Sekarang aku pulang dulu.”
“Iya, silakan. Oya, aku bantu memetik buah Ara yang paling besar dan matang untuk Emak,” kata Enggang.
“Ini saya bawakan juga dedaunan untuk emakmu. Ayo, aku antar kamu pulang,” ajak Gajah.
“Aku ikut!” sambung Enggang.
Tapir pun tersenyum bahagia. Ia mencoba untuk menerima teman baru. Ditemani Enggang dan Gajah, Tapir menuju rumah.*


Posting Komentar