Buah Anggur (Fiksi Mini)

 Resti bersama adiknya menuju kota. Mereka akan menjenguk Bu Haris yang sudah tiga hari ini opname. Dengan sepeda motor kesayangan, Resti yang seorang karyawan swasta ini harap-harap cemas. Kunjungannya bisa diterima dengan baik oleh keluarga Hanung.

Di sepanjang jalan, Resti mencoba menata kata-kata selembut mungkin bila diberi sederet pertanyaan oleh Bu Haris. Atau, Resti harus berusaha merangkai kata bila ternyata Bu Haris adalah tipe orang yang tidak banyak bicara. Apalagi sedang dalam kondisi tidak sehat. Kata Hanung, pacar Resti, yang menunggui Ibu adalah adiknya.

"Mi, kita beli buah dulu, yuk!" ajak Resti kepada Rahmi.

"Boleh, Mbak Resti. Itu ada toko buah. Tokonya besar dan banyak pilihan," jawab Rahmi dengan menunjuk toko buah 100 meter di depan mereka. 

"Silakan, Mbak. Mau anggur berapa kilo?" tanya penjual dengan ramah saat Rahmi menyentuh anggur.

"Ga ada yang model buket, Mbak?" tanya Rahmi.

"Saya cuma buka setengah hari. Jadi sengaja tidak bikin. Yang kemarin sudah habis," jawab penjual.

"Ga usah, yang kiloan saja, lebih murah," balas Resti.

"Anggur ini manis, Mbak," rayu penjual buah.

"Ah, ga usah, calon mertuaku orang desa. Kayaknya ga suka anggur. Apalagi anggur mahal. Ga usah. Paling ga doyan. Lagi pula dia sedang sakit. Nanti cuma dimakan yang pada nunggu.  Nggak ah. Keenakan.” Kalimat Resti terdengar jelas walaupun disuarakan setengah berbisik. 

"Mbak Resti kok gitu?" balas adiknya dengan cemberut. Namun, lebih heran lagi penjual buah. Dia mengerutkan alisnya bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh. 

“Sudah Mbak, tolong jeruk dan pir saja!” kata Resti. 


Sampailah Resti dan Rahmi di RS. Mereka tidak kesulitan menemukan kamar Bu Haris, janda hebat yang sukses membesarkan 4 anaknya sendiri, sejak 15 tahun lalu. Di dalam ada Dika, adik bungsu Hanung. 

Perkenalan perdana pun mengalir lancar. Bu Haris tampak senyum-senyum menyambut kehadiran calon menantunya. Meskipun anak perempuan pertamanya belum menikah, Bu Haris tidak masalah bila Hanung, mendahului berumah tangga. 

"Hanung anak saya nomor 2. Kakaknya sibuk ngurusi toko buahnya, belum pingin nikah. Yang ketiga kerja di Jakarta, dan terakhir Dika, masih kuliah," kata Bu Haris dengan menunjuk ke arah Dika. Dika hanya tersenyum kecil.

"Toko buah?" tanya Resti lirih ke arah wajah Rahmi. Rahmi hanya mengernyitkan dahinya. Gemuruh suara hati Resti makin kencang. 

Tidak lama kemudian, masuklah seorang wanita. Dari baju dan kerudungnya, Resti hafal betul. Bagaimana bisa lupa, belum ada 30 menit mereka bertemu.

"Mbak, itu penjual buah tadi," bisik Rahmi.

"Ah, iya," jawab Resti. Sebuah cubitan mendarat di ujung tangan Rahmi. Rahmi tidak mau kalah juga mencubit pinggang kakaknya.

"Resti. Ini Hasna, kakak Hanung," kata Bu Haris lirih.

"I- iya, Bu," jawab Resti dengan mengulurkan tangan. 

Bumi seakan berhenti berputar. Resti mendadak mematung, dia bingung mau bertahan menunggu Hanung atau segera kabur.

“Hanung sudah jalan  ke sini belum, Hasna?” tanya Ibu.

“Hanung gak bisa ke sini, Bu. Tadi saya minta mengambil anggur di Kios Pak Surya. Pak Surya mau hajatan, jadi mau tutup tiga hari,” balas Hasna tanpa senyum sedikit pun.


***


Posting Komentar