Dubrak
Terdengar suara mengagetkan di ujung bawah tangga
dari lantai dua ke lantai satu sekolah.
“Aduh!” teriak Bisma, siswa kelas 8 yang berpostur
kecil dan terkenal lincah, banyak gerak maksudnya. Suara anak jatuh itu malah
disambut dengan gelak tawa anak-anak lain yang melihatnya. Satu dua anak yang
lain menolong mengangkat tubuh Bisma.
“Ada apa ini?” Beberapa guru mendekat ingin tahu.
“Bisma jatuh, Pak, dari tangga,” jawab Ihsan, anak
yang tadi berjalan bersama Bisma. “Biasa Pak, dia kalau berjalan tidak mau
kalah, pasti pinginnya di depan.”
“Hahaha…! Hu…!” tawa yang lain dibarengi sorakan
dari teman-temannya.
Di antara guru-guru yang mendatangi, Indahlah yang
paling panik karena ia wali kelas Bisma. “Bisma, kamu baik-baik saja? Gimana kaki
dan tanganmu? Ada yang sakit?”
“Gak papa, Bu. Nih, masih bisa digerakkan,” jawab
Bisma enteng dengan tertawa kecil.
“Bener tidak cedera atau sakit atau bagaimana?”
desak Indah.
“Dia kuat, Bu. Tapi gak tahu bapaknya. Haha…!”
teriak Aryo, teman Bisma sejak SD. Mendengar ucapan Aryo, Bu Indah mengerutkan
alis. Belum juga Indah mendapatkan jawaban dari keingintahuannya, kakak Bisma,
Firman, datang.
“Maaf, Bu, izin, Bisma saya jemput,” kata Firman.
Sementara Firman bicara dengan Indah, Bisma sudah lari ke mobil.
“Biasanya Ayah yang menjemput, Mas?” tanya Indah
ramah.
“Iya, Bu. Ayah masih repot di kantor.”
“Mas, Bisma baru saja jatuh dari tangga.”
“Oh, ya, Bu. Gak papa. Terima kasih,” balas
Firman, mahasiswa tingkat akhir, kakak pertama Bisma. Ia tampak ingin segera
menuju mobil, tetapi diurungkan. Firman mendengarkan cerita Indah perihal
jatuhnya Bisma saat turun tangga.
“Sampaikan kepada Ayah, ya Mas,” pinta Indah.
“Ya, Bu. Akan saya sampaikan. Maaf, ya Bu. Saya
sedang buru-buru. Nanti saya cerita ke ayah.”
“Benar, ya
Mas. Tolong sampaikan. Terima kasih,” kata Indah dan diiyakan oleh Firman dengan setengah berlari karena ia mau
ke luar kota.
Di rumah, Indah sudah disambut dengan aneka
pekerjaan dapur. Selepas isya, ia ketempatan pertemuan bapak-bapak RT,
pertemuan bulanan. Sebagai warga yang baik, Indah dan suaminya sepakat untuk berusaha
mengikuti kegiatan kompleks. Selama sempat, mereka berusaha untuk berpartisipasi.
Tahun ini, Ketua RT dijabat oleh Anas, suami Indah. Jabatan ini berlangsung
selama dua tahunan yang wajib diterima secara giliran oleh warga kompleks. Jelas,
Indah tidak bisa menolak menjadi ibu ketua PKK tingkat RT.
“Ma, jajannya diapakan?” tanya Anas.
“Ditata di piring, Yah. Jadi tiga paket, ya!”
“Ma, air mineral diapakan?” Gantian Sisi, anak
pertama Indah yang bertanya.
“Ditata di nampan, Kak. Nampan biru, ya. Tiga
nampan diisi semua.” Indah dibantu seisi rumah agar pekerjaan penataan hidangan
segera kelar. Ia sendiri yang menyiapkan dua macam gorengan dan kacang rebus.
Adapun, kue cukup ia beli di toko kue depan kompleks.
“Zaki dan Ilham mbantu apa, Ma?” tanya adik-adik
Sisi bersamaan.
“Menata karpet bisa, Nak?”
“Bisa…!” teriak mereka dan segera membuka karpet
yang sudah disiapkan di ruang depan. Meskipun baru kelas 3 dan 2 SD, tenaga
mereka tidak bisa diremehkan.
Selepas isya, acara dimulai dan baru berakhir pada
pukul 21.30. Indah rebahan di atas karpet. Tangannya meraih telepon genggam
yang sedari tadi tidak dijamahnya.
“Astaghfirullah, Yah. Ada telepon masuk sampai 11
kali. Aku ga dengar,” keluh Indah.
“Dari siapa, Ma? Wali murid mungkin. Jawab saja
maaf, sedang repot,” saran Anas.
“Iya, ini dari wali murid Bisma. Perasaanku, kok
tidak enak ya, Yah,” Indah bingung dan makin bingung.
“Ada kejadian apa di sekolah?”
“Astaghfirullahal ‘azim, Yah. Bisma tadi jatuh
dari tangga. Aku sudah titip informasi lewat kakaknya. Apa tidak sampai, ya?”
Indah memberanikan diri menyampaikan lewat pesan WA. Ia meminta maaf karena
sedang repot ketempatan kegiatan bapak-bapak RT. Namun, pesan Indah langsung
dibalas dengan dering panggilan. Indah menarik napas, bismillah, segera ia
terima panggilan tersebut.
“Bu Indah itu bagaimana? Anak saya jatuh dari
tangga. Mengapa tidak memberitahukan kepada kami. Kalau anak saya terjadi
apa-apa, bagaimana, Bu? Bu Indah sudah lalai mengawai anak saya. Ibu bisa saya laporkan
ke KPAI," jelas Ayah Bisma setelah mengucap salam. Bahkan, Indah belum
sempat menjawab salamnya, serentetan kalimat mempertanyakan dan menyalahkan
ditujukan kepada Indah. Bahkan, terucap kata KPAI, hati Indah langsung ciut.
Dari ujung ruang tamu, suami Indah turut
memperhatikan. Lima menit berlalu, tujuh menit, dan sudah masuk menit ke-15.
Indah hanya menjadi pendengar, setiap mulut terbuka untuk menjelaskan sedikit,
ia urungkan.
“Bisma itu anak saya yang dulu hampir ilang
nyawanya, Bu. Makanya saya sangat sayang kepadanya. Ia tidak boleh celaka,
cedera, apalagi sampai cacat.” Selesailah bicara, bahkan ayah Bisma tanpa salam,
langsung menutup pembicaraan secara sepihak.
Indah duduk lemas dan mengalirlah air matanya. Tubuhnya
bagaikan dikuliti, perih. Semua kesalahan seperti tertumpahkan padanya.
Anehnya, satu kalimat pun tidak tuntas dia ucapkan sekadar menyela dan
meluruskan akar masalah. Apakah seperti ini salah satu risiko menjadi wali
kelas?
“Ma, kenapa sampai lemes begitu?” sapa Anas seraya
membawa segelas air putih. Dibelainya pundak Indah dengan menyorongkan air
putih ke mulut Indah yang tampak masih bergetar dan basah oleh air mata.
“Ya Allah, Yah. Ternyata benar firasat saya. Besok mau ke sekolah menemui kepala sekolah.”
“Tidak mengapa, dihadapi dengan baik. Kamu tidak
salah, kan? Bismillah, berdoa saja.” Pesan Anas membuat hati Indah mendingin.
Lelah menyiapkan hidangan acara RT-an tidak ada apa-apanya dengan lelah hati
menyimak suara orang tua siswa lewat telepon. Belum lagi siap-siap menghadapi
pertemuan besok.
Pagi hari, di sekolah sedang briefing
bersama semua guru. Indah sudah tidak nyaman duduk, apalagi mencerna informasi
demi informasi. Hatinya gelisah dan was-was.
Pertemuan pun dimulai. Indah, Pak Riyan selaku
Waka Kesiswaan, dan tidak ketinggalan ayah Bisma. Ketiganya berkumpul di ruang kepala
sekolah. Ayah Bisma sudah memasang muka garangnya.
“Pak, menurut informasi dari Bu Indah, semalam
Bapak sudah menceritakan lengkap kepada Bu Indah. Bagaimana kalau sekarang kita
mendengarkan informasi dari Bu Indah. Jadi, gantian. Pas begitu, kan Pak?”
tanya Pak Riyan kepada ayah Bisma. Pak Riyan mencoba bicara dengan nada santai
agar Indah bisa tenang berbicara. Ia hadir sebagai mediator Indah dan Ayah
Bisma agar masalah segera kelar.
“Oh, ya. Silakan. Tapi, ya. Bu Indah sebagai wali
kelas harusnya bisa menjaga murid-muridnya agar tidak sampai celaka apalagi
cedera.” Ayah Bisma masih saja ingin bicara.
“Pak, maaf. Bu Indah kita beri kesempatan untuk
bicara, ya?” potong Pak Riyan sambil mengembangkan senyum di bibirnya.
“Silakan, Bu Indah.”
Melihat Pak Riyan bisa memotong kalimat Ayah
Bisma, Indah bernapas lega. Ia menata posisi duduknya kemudian menceritakan
runtutan kejadian aslinya. Bahkan, Indah menceritakan bahwa Firman, kakak Bisma
yang akan menyampaikan kepada ayah Bisma.
“Saya merasa lega karena ada Kakak Bisma yang akan
menyampaikan kepada Ayah. Qodarullah, begitu saya pulang langsung menyiapkan
hidangan untuk acara suami di rumah,” jelas Indah.
“Oh, begitu?” kata ayah Bisma mulai mereda.
“Kalau saya salah, mohon dimaafkan, Pak,” tambah
Indah.
“Oh, tidak. Bu Indah tidak salah, Firman ini yang
salah, coba saya telpon Firman dulu,” tambahnya. Segera ayah Bisma menelepon
Firman.
“Maaf, Ayah. Firman buru-buru waktu itu. Jadwal
kereta sudah dekat. Maaf, Yah.” Dari hp Ayah Bisma terdengar berkali-kali
Firman minta maaf.
“Bu Indah dan Pak Riyan, rupanya Bu Indah tidak
salah. Sebenarnya Bisma juga tidak terlalu sakit kakinya, tidak ada luka dan
darah. Saya, saya tidak ingin terjadi apa-apa pada Bisma. Bu Indah sudah bagus
menjadi wali kelas. Selama ini sudah sering mengabari kami kalau terjadi
sesuatu,” jelas ayah Bisma. “Sekolah ini sudah bagus memberikan pelayanan kepada
siswa dan orang tua. Sudah bagus, Pak, Bu,” lanjut ayah Bisma.
“Baik, Pak. Terima kasih sudah hadir. Semoga Ayah
Bisma dan keluarga sehat selalu,” kata Pak Riyan yang akan segera menutup
diskusi.
“Saya tidak ingin hampir kehilangan Bisma untuk
kedua kalinya, Pak.”*


Posting Komentar