“Alhamdulillah, Umi, abi dapat kesempatan
berhaji,” kata Ahmad kepada istrinya, Tuti, pada suatu sore, pulang dari
mengajar. Ia seorang guru SD yang sudah tujuh tahun mengabdi di sebuah yayasan.
“Siapa yang ngajak, Bi?” tanya Tuti penasaran.
“Bayar berapa, Bi? Kita tidak punya uang, tambahannya pasti banyak.”
“Gratis ini, Mi. Hadiah dari yayasan untuk 25 guru
dari TK sampai SMP.”
“Bener itu, Bi? Alhamdulillah, ikut senang. Semoga
semua lancar,” kata Tuti sambil menengadahkan tangan ke atas, masih di depan
kompor. Ia tengah memasak untuk makan malam bersama.
Setelah kabar gembira itu, sepekan dua pekan berlalu. Sebulan dua bulan terlewati, belum
juga ada kabar dari yayasan kapan Ahmad dan rombongan berangkat haji. Mereka
adalah rombongan kedua jamaah haji atas undangan dari Kerajaan Arab Saudi.
Angkatan pertama berangkat 40 orang pada tahun 2006. Ahmad semakin penasaran
dan menunggu-nunggu kesempatan berharga itu untuk bisa beribadah di tanah suci.
Sampai pada suatu saat, ada kabar keberangkatan
mereka batal karena suatu hal.
“Mungkin memang belum rezekinya berangkat haji,
Bi. Insyaallah suatu saat berangkat kalau memang Allah sudah mengizinkan,”
hibur Tuti.
“Aamiin…. Betul kata Umi,” jawab Ahmad dengan
ekspresi datar. Ia berusaha menutupi kekecewaan yang menggelayut dalam hatinya.
Ahmad berusaha untuk berkativitas lebih giat dengan harapan melupakan gagalnya
ia berhaji.
“Abi, jangan melamun. Ikhlas, Bi! Jangan dipikir
terus, katanya mau rida dan ikhlas,” goda Tuti saat melihat Ahmad duduk terdiam
di kursi sepulang dari masjid. “Lebih baik berdoanya yang diperbanyak, Bi.
Jangan melamun yang diperbanyak!” sambungnya.
“Astagfirullah, iya Mi. Umi tahu aja kalau aku
melamunkan itu? Betul, gak ada gunanya kebanyakan merenung. Astaghfirullah, ya
Allah….!” Ahmad berdiri dengan mengusap wajahnya. Ia segera melepas sarung dan
pecinya.
Dalam hati Ahmad berjanji untuk menguatkan doanya
di setiap selesai salat. Ia yakin bahwa Allah bersama prasangka hamba-Nya.
Ahmad yakin Allah akan mengizinkan ia berangkat haji entah kapan, dengan cara
apa, dan bagaimana.
Sejak saat itu Ahmad selalu menguatkan doanya
setiap selesai salat fardu. Salat tahajud rutin pun ia jalankan. Kapan ada
kesempatan salat sunah, salat apa pun, selalu tidak ia sia-siakan demi mengetuk
pintu langit.
Sampailah pada tahajud malam yang kesekian. Yang
jelas sudah beberapa tahun setelah batalnya berangkat haji tahun 2008. Bagaikan
anak kecil, Ahmad menangis tersedu. Begitu dalam ia mengadu dan mengiba. Ia
memohon agar dikabulkan hajatnya. Namun, ia merasa tidak pantas bila berdoa
mohon disegerakan. Getar tangisnya yang
begitu kuat seakan ia tumpahkan semua malam itu. Tuti sampai terbangun, ia mendengar suara di
ruang yang biasa untuk salat, desah doa, dan tangis suaminya. Ia pun ikut
mengangkat tangan dan mengaminkan doa Ahmad. Ia tambahkan aneka lafaz doa agar
hajat suaminya terkabul.
Pulang dari masjid setelah salat subuh, Ahmad
tampak riang gembira sekali, senyumnya mengembang, tawanya lebar dan ringan.
Sungguh tidak seperti hari-hari biasanya. Istrinya membatin dan hampir saja
menggoda Ahmad, tetapi ia urungkan. Ia mengantarkan teh manis dan berucap, “Semoga
ada kabar baik, Bi,” kata sang istri lirih berhiaskan senyum manis dari
bibirnya.
Di kantor yayasan tempat ia sekarang bekerja,
bukan di SD lagi, seperti biasa ia disibukkan dengan urusan keuangan. Tiba-tiba
dalam sebuah rapat bersama pihak yayasan, namanya disebut.
“Tahun ini, salah satu dari kita akan mewakili yayasan.
KBIH Muhammadiyah meminta bantuan kepada beberapa pihak, salah satunya yayasan kita
untuk mengirimkan satu orang. Berangkat haji sebagai pendamping jamaah,” ucap
Pak Ridwan membuat jantung Ahmad berdegup keras dan makin keras. Semua mata
dalam ruang rapat siang itu saling beradu mengira-ira siapa yang terpilih. “Silakan,
Pak Ahmad yang mewakili.”
“Allahu Akbar, Alhamdulillah!” teriak Ahmad
diikuti yang hadir. Ucapan selamat dan jabat tangan juga pelukan berhamburan
menyambar Ahmad.
“Ini benar tahun ini, Pak?” tanya Ahmad tidak
yakin.
“Iya, beberapa bulan lagi musim haji. Silakan
dipersiapkan.”
“Baik, Pak. Insyaallah.”
Sujud syukur Ahmad seketika itu juga. Air matanya
membasahi karpet, tidak ia hiraukan. Dipeluknya Pak Ridwan sembari dijabat
tangannya erat-erat. Di benak Ahmad, bermunculan daftar nama orang-orang
tersayang yang harus ia kabari. Bertengger paling atas adalah kedua orang tua
dan istrinya.
“Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah. Janji-Mu
tidak pernah meleset. Keyakinanku untuk naik haji terbayar sudah dalam sepuluh
tahun.” Ahmad terus berucap setengah berbisik. Ia dengarkan sendiri kalimat
demi kalimat syukurnya. Angin siang yang panas itu serasa hangat sekaligus
sejuk. Sesejuk bisikan mesra Allah yang telah membayar janjinya. Sehangat belaian Allah yang bakal Ahmad rasakan
lebih di dalam dua masjid suci kelak, juga dalam setiap prosesi ibadah haji.
“Labbaikallah humma labaik, labaikalla syari kala
kalabaik….”


Posting Komentar