Lulu adalah seorang ibu muda yang tengah belajar
membangun sebuah mahligai rumah tangga bersama suami tercinta, Romi. Keduanya
tinggal di sebuah rumah kontrakan. Mereka sedang bahagia-bahagianya menjalani tahun
kedua pernikahan. Di pangkuan Lulu, duduk seorang bayi mungil yang belum genap satu
tahun, Sarah. Sehari-hari suami istri ini kerja dan Sarah bersama pengasuh
bayi, yang tidak lain adalah tetangga dekat rumah.
Sebagai anak pertama, Sarah menapatkan perhatian
yang luar biasa dari orang tuanya. Bahkan, Lulu berusaha untuk memberikan
asupan makanan dan minuman yang bergizi karena ASI yang diberikan Lulu tidak genap
sampai sepuluh bulan.
“Mas, Sarah minum susunya lumayan banter. Makannya
juga lahap,” ucap Lulu.
“Alhamdulillah,” balas Romi tanpa tambahan
kata-kata.
“Mas, genteng bagian dapur bocor. Pintu kamar
mandi juga rusak.
“Iya, besok dibetulkan.”
Lulu ingin menambah obrolan sore itu, tetapi dia
memilih stop dulu. Dia yakin, tanpa dilaporkan, Romi sudah memahami kondisi rumahnya.
Musim penghujan sepertinya sedang berpesta.
Berhari-hari langit menampakkan kegagahannya dalam menumpahkan air. Tampaknya air-air
hujan itu tidak mau kalah dengan sekawanan kucing yang berulah di atas genteng
rumah Lulu. Akibatnya, selesai bikin ulah, air-air itu berebut masuk rumah.
“Mas, cepat ambilkan ember, air…air… Mas….! Bocor!”
Teriak Lulu dari arah dapur. Tangannya memindahkan barang-barang yang harusnya
dijauhkan dari air.
“Iya, iya….”
“Lagi, Mas… dekat pintu!”
“Waduh, embernya habis!” Sahut-sahutan suara Lulu
dan Romi beradu dengan derasnya air hujan.
Sepekan berlalu, bagian rumah yang rusak, selesai
dibetulkan. Hujan malam itu, Lulu dan Romi nikmati sembari minum teh hangat dan
beberapa camilan.
“Alhamdulillah sudah gak bocor lagi, kan?” canda
Romi mengapresiasi hasil jerih payahnya sendiri.
“Iya, Mas. Alhamdulillah, suamiku hebat bisa
membetulkan atap sendiri,” sanjung Lulu. “Tapi, kalau ada yang rusak lagi, kita
keluar duit lagi, Mas? Kenapa gak lapor ke yang punya?”
“Dulu perjanjiannya kita yang ngurusi, yang ini
sudah risiko,” balas Romi enteng.
“Belakang rumah kita kebun bambu, beberapa pohon
condong ke arah rumah kita. Bahkan, daun-daunnya kadang mencari celah dan masuk
rumah lewat genteng. Bocor lagi rumah kita,” jelas Lulu. “Kita pindah
kontrakan, yuk!” ajaknya.
“Memang gampang?” balas Romi yang berlalu menuju
masjid untuk salat isya.
Genap satu
setengah tahun Lulu menempati rumah itu. Ia berbikir keras untuk mendapatkan
rumah kontrakan yang lebih miring harga. Hingga suatu hari, sepulang sekolah,
Lulu pergi menuju sebuah alamat rumah kontrakan yang ia dapat dari temannya.
“Bu Lulu, ada apa berhenti di pinggir jalan?” sapa
Rani, mamanya Dianto. Waktu Dianto kelas 7, Lulu wali kelasnya. Kelas 9 ini,
Lulu lagi yang menjadi wali kelas.
Lulu sedikit kaget karena bertemu dengan salah
satu wali muridnya. “Ceritanya ini saya sedang survei sakalian observasi rumah
kontrakan, Ma,” jawab Lulu dengan nada akrab.
“Apanya yang diobeservasi, Bu?” timpal Mama Dianto.
“Tadi sudah melihat satu rumah di ujung gang itu,
ini mau melihat lagi yang lain,” jawab Lulu masih dengan memegang hp-nya. “Saya
sedang memastikan alamatnya, Ma.”
“Ya Allah, kok takdir yang indah ini,” jawab Rani
mengagetkan Lulu. “Bu Lulu bingung mencari rumah, saya juga bingung mencari
orang untuk menempati rumah saya. Ini rumah saya, tiga bulan ini kosong. Yang
kontrak sebelumnya sudah pindah,” kata Rani dengan membalikkan badannya segera
membuka pintu rumah. “Ayo, ayo…masuk!”
Masih dengan rasa kaget, ternyata rumah yang Lulu
survei adalah rumah Mama Dianto. Ya, salah satu rumah Mama Dianto.
“Ini yang namanya takdir Allah, Bu Lulu,” ucap Rani
berulang kali sambil mengelus pundak Lulu dan mengajaknya masuk ke ruang tamu.
“Ini tidak salah, Bu Lulu saja yang menempati rumah ini. Dipakai saja sampai
kapan Bu Lulu mau. Ga usah dipikir biaya kontraknya. Sudah tinggal dipakai
saja.”
“Beneran ini, Ma?” tanya Lulu dengan mata berkaca-kaca.
Ia tidak percaya dengan keajaiban Allah ini. Sementara Lulu sedang mencari rumah
kontrakan yang murah, Allah mendatangkan rumah beserta pemiliknya di depan mata
langsung. “Tapi, Ma….”
Seperti memahami arah ucapan Lulu, Mama Dian
segera masuk dapur. Ia mengambilkan minum untuk Bu Lulu kemudian menelepon
suaminya yang sedang bekerja di luar lota.
“Ya, Allah. Seperti mimpi. Kalau ini memang
takdir-Mu, semoga Kau mudahkan impian kami untuk meninggalkan rumah di bawah
pohon bambu itu,” pinta Lulu dalam hati.
“Bu Lulu, kata suami saya, supaya Bu Lulu lega
bisa menempati rumah dengan perasaan nyaman, rumah ini bisa dipakai dan dimiliki
Bu Lulu. Untuk pembayaran, santai saja, sesanggupnya Bu Lulu tanpa patokan
waktunya. Ini amanah dari suami saya.”
Angin sore itu mengusap lembut wajah Lulu. Dari
dalam helm seperti terdengar musik mengalun lembut membawakan lagu merdu. Lagu indahnya
kehidupan yang mengantarkannya pulang. Lagu kebahagiaan atas hadiah dari Allah
untuk hemba-Nya.
Alhamdulillah, ucap syukur Lulu dengan tidak sabar
ingin mengabari Romi. Ia bisa pindah rumah bahkan segera memiliki rumah
sendiri. Lulu sontak mengingat pesan Ustaz Muhibbin almarhum. “Jadilah guru
yang ikhlas dan sabar. Rezeki, Allah yang akan mengatur.” Lulu baru saja
membuktikan pesan Ustaz Muhibbin. *


Posting Komentar