Jejak Emas Angkasa

 

Gedung sekolah tahun pertama


Puluhan siswa kelas XII menggunakan toga kelulusan. Mereka berjajar di panggung melakukan foto bersama wali kelas dan manajemen sekolah. Kelas putri disusul kelas putra. Ya, hanya dua kelas. Empat belas siswa putra dan empat belas siswa putri.

Wajah-wajah gembira berkerumun ke depan panggung lengkap dengan ponselnya masing-masing. Ayah bunda para wisudawan memotret anak-anaknya. Mereka, para orang tua turut merasakan kebahagiaan kelas XII SMA Satria Harapan Jaya (SMA Sahaja) yang baru saja dinyatakan lulus dan menutup lembaran SMA dengan wisuda kelulusan.

Sebagai waka kurikulum, Isna patut bersyukur dan sangat bangga dengan keberhasilan mereka. Dari nilai Ujian Nasional, sekolah yang baru berdiri ini tidak mengecewakan. Atas izin Allah, segala upaya yang dicurahkan kini menampakkan hasil.

“Sini Bu Isna, kita foto bersama,” tarik Bu Risma salah satu orang tua siswa. Bapak-bapak pun ikut berfoto bersama. Sesekali mereka berfoto dua orang, tiga, atau lima orang.

“Ini yang harus diwisuda orang tuanya juga. Karena orang tua hebatlah, sekolah ini jadi dibuka dan ini lulusan pertama. Lulusan yang ditunggu-tunggu semua orang,” ucap Pak Azzam, sang kepala sekolah. Ucapan tersebut diiyakan yang lain dan disambut tepuk tangan.

Sekilas di benak Isna bermunculan kenangan masa-masa penuh perjuangan dari awal berdirinya sekolah tersebut. Isna yang baru bergabung setahun lalu ini turut bekerja keras untuk lulusan pertama. Menjelang UN, ia bolak-balik ke sekolah induk, SMA N I. Sebagai sekolah baru, SMA Sahaja harus menginduk ke salah satu sekolah. Ia berkomunikasi dengan waka kurikulum SMA N 1 tidak mengenal hari dan jam. Koordinasi terus ia lakukan agar tidak ada prosedur yang terlewat.

Selain itu, Isna juga berkoordinasi dengan semua guru mata pelajaran guna persiapan ujian sekolah. Isna dengan telaten menjalin komunikasi dan koordinasi, mulai dari perkenalan di depan forum guru SMA negeri tersebut, mengatur jadwal bimbel sore, urusan penyusunan soal ujian sekolah oleh guru-guru SMA N I, dan penyusunan jadwal pengawasan ujian sampai pada input nilai.

“Saya betulkan lagi jadwalnya. Terima kasih, Pak Toni. Saya ke sini lagi, Kamis, ya?” pamit Isna pada suatu siang. Ia rutin konsultasi mendatangi Waka Kurikulum SMA N I. Awalnya Ketika ia bolak-balik ke kantor Pak Toni, banyak mata yang memandang keheranan, apalagi seragam guru Yayasan Sahaja berbeda sekali, khas begitu. Lama-lama tidak Isna hiraukan. Naik motor dari SMA Sahaja ke SMA N I sudah seperti setrika.

Yayasan Sahaja tidak pernah main-main dengan impiannya. Ketika memiliki sebuah rencana, diprogramkan, dilaksanakan, dan terus dikawal. Terwujudnya SMA baru ini untuk mewadahi lulusan SMP Sahaja agar alumni mendapatkan pendidikan yang sejalur. Adapun SMP Sahaja sudah berdiri sejak tahun 1978. SMA Sahaja menyusul tahun 2008.

Namun, SMA Sahaja sungguh terlalu, nekat. Kata orang Jawa: kewanen, terlalu berani. Pada umumnya, angkatan pertama sebuah SMA baru adalah membuka jurusan IPS. Namun, sekolah ini langsung membuka IPA dua kelas, putra putri terpisah. Selain itu, dengan input yang bisa dikatakan terbatas membuat semua tenaga, perhatian, dan biaya tentu saja, dikerahkan sedemikian rupa.

Benar seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hanya orang tua hebat yang dengan iklhas dan rida anak-anaknya bersekolah di SMA Sahaja angkatan pertama. Namun, keyakinan mereka tentu saja bukan tanpa alasan. Masyarakat sudah memberikan kepercayaan kepada Yayasan Sahaja dari bukti yang sudah ada, yaitu TK, SD, dan SMP yang dikelola dengan sungguh-sungguh. “Mereka pun percaya untuk jenjang SMA insyaallah juga baik,” kata beberapa orang tua siswa yang pernah Isna dengar langsung dan tidak langsung.

“Bu, dihabiskan snacknya!” sapa Bu Wati, guru matematika. “Jangan melamun, Bu!”

“Iya, Bu, terima kasih. Saya tidak melamun. Saya lagi happy, Bu,” jawab Isna yang masih memegang kacang bawang di tangannya.

Isna masih menghitung-hitung manuver perjuangan yayasan. Salah satunya bedol desa. Ah, apalah namanya, pada awal sekolah dibuka, tapatnya tahun kedua, sekolah ini boyongan semua siswa dan guru karyawan untuk belajar bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare-Pare, Kediri, Jawa Timur. Coba, sekolah mana yang bisa menjalankan seperti ini? Luar biasanya, anak-anak tahun ajaran ini merasakan kegiatan yang sangat membekas mendapatkan pengalaman praktik berbahasa Inggris. Tentunya, mereka memiliki keterampilan bahasa Inggris yang lebih baik. Waktu itu Isna masih bertugas di SMP, tetapi kabar kegiatan keren itu tersebar luas. Semua ikut bangga.

*****

“Selamat, ya!” sapa Bu Isna pada beberapa wisudawan yang lewat. “Terima kasih, Bu,” balas mereka.

Melihat wajah-wajah mereka, Isna ingat kembali saat mereka di pertengahan semester I pulang kampung. Sedikit istilah untuk anak-anak SMA Sahaja yang melepas kangen, berkunjung ke SMP Sahaja. Wali kelas mereka, yang kelas putri saat kelas 9 adalah Isna. Salah satu siswa bernama Khani berucap, “Bu Isna, sekolahnya kaya sekolah-sekolahan.” Dengan wajah sedih, setengah merengek, tetapi suaranya melengking, Khani teriak di depan adik-adik kelas yang tengah menikmati jam istirahat. Ya, ia menceritakan kondisi sekolah yang menggunakan gedung sementara di timur alun-alun,

“Sst..., jangan keras-keras. Adik-adik SMP bisa dengar!” kata Isna sambil menempelkan telunjuk di bibir. "Kalian yang sabar, ya. Tetap semangat, insyaallah semua akan lebih baik. Semoga sukses!”

Antara haru dan geli, Isna mengusap ujung matanya yang basah, masih duduk di deretan depan kursi undangan wisuda SMA dengan kehadiran aneka kenangan masa lalu.

Belum lagi perjalanan malam hari tatkala Isna harus mengisi kelas tambahan. Bukan di kelas, melainkan di rumah prestasi. Rumah prestasi ini memakai rumah kosong yang dipilih untuk belajar siswa kelas XII. Sekelas putra dan sekelas putri, kurang lebih selama satu bulan menjelan UN.

Dalam program ini, mereka mencoba menguatkan ibadah dan belajar materi persiapan UN. Satu rumah, didampingi oleh satu guru. Mereka salat fardu berjamaah, tadarus, tahajud bersama, dan tentu saja belajar mapel UN didampingi para guru mapel. Dengan dua lokasi yang berbeda, Isna berbagi waktu untuk bisa mengisi di dua tempat.

Pernah, malam hari pukul 21.00 Isna pulang sendiri dengan motor kembali ke rumah yang lumayan jauh. Isna kadang juga mengisi pada Ahad sore. Semua terasa ringan walau sebenarnya berat untuk dijalankan. Belum lagi kalau hujan turun.

“Ya, Allah…. Besarnya kemurahan-Mu untuk kami. Alhamdulillah,” bisik Isna lirih. Sampai pada kenangan di penghujung Desember 2010. Bangunan megah 3 lantai di selatan GOR dipaksa harus jadi dan jadilah. Minimal pada awal semester II ada dua ruang kelas untuk putra dan putri, satu ruang manajemen, dan satu lagi untuk ruang pengawas UN. Ya, harus ada minimal ruangan itu agar SMA Sahaja diperbolehkan mengadakan UN di sekolah sendiri.

Masyaallah, ini luar biasa. Pada umumnya sekolah baru yang masih menginduk akan mengikutkan siswanya UN di sekolah induk. Luar biasa lagi, ijazah mereka juga memakai nama sekolah sendiri. Sulit dicari tandingannya. Ini sungguh-sungguh terjadi.

 Isna mengusap matanya yang makin basah. Ia bersyukur himne SMA Sahaja buah karyanya sukses dinyanyikan paduan suara kelas XI pada wisuda kelulusan angkatan pertama yang juga baru saja ia saksikan.

“Bu, yuk makan sate?” ajak Bu Wati lagi.

“Loh, kok ada sate? Panitia tidak menyiapkan sate, kan?” Isna heran.

“Komite yang menyiapkan. Yuk…!” Isna bersegera mendekat meja yang di sana tertata rapi sate dan lontong di atas piring-piring. Ini kejutan dari orang tua siswa. Luar biasa dukungan mereka.

Isna menyudahi mencumbui kenangan-kenangannya bersama perjuangan Angkatan I SMA Sahaja. Alumninya menyebut diri meraka sebagai Angkasa, Angkatan pertama luar biasa. Isna sangat setuju ini.

Ia segera berdiri dengan terus mensyukuri nikmat Allah yang bertubi-tubi ini. Ia menuju meja sate dan berbaur dengan lainnya.*

 

1 komentar

  1. Masyaalloh.... Semua bisa jadi ide buat usth... Keren...
    "Jejak Angkasa"

    BalasHapus