Mila
termenung di kamar menenangkan hatinya. Guncangan keras yang baru saja ia alami
belum juga hilang. Sesekali ia menatap wajah Tia, putri kecilnya, yang sudah
lelap tidur. Anak kecil itu belum bisa ikut merasakan kelesuhan hati bundanya.
Jam dinding menunjukkan pukul 22.05. Bayangannya belum hilang dari kejadian
sehari itu.
Sore
tadi, pulang sekolah Mila sudah berencana untuk berkunjung ke rumah orang tua
Risa, salah satu siswa kelas 3B. Dari 30 orang siswa di kelasnya yang semua
putri, orang tua Risa yang tersisa belum menerima kunjungan dari wali kelasnya,
Mila.
Ini
tahun ajaran ke-6 Mila menjadi guru di sebuah sekolah menengah pertama. Sekolah
swasta terkenal di kotanya. Ia sangat bersyukur bisa bergabung di sekolah
tersebut. Sekolah yang mempunyai banyak program baru. Program yang belum
dikerjakan di sekolah-sekolah lainnya. Salah satunya adalah home visit yang
mulai diterapkan pada tahun 2001. Tahun pertama Mila bergabung dan langsung
menjadi wali kelas 1 putri. Dulu untuk SMP SMA, penyebutan level yang dipakai
adalah kelas 1, 2, dan 3, belum kelas 7 sampai 12.
Setelah
magrib, Mila meninggalkan rumah bersama gadis kecilnya mencari becak. Berhubung
rumah tujuan tidak terlalu jauh, Mila memutuskan untuk berkunjung malam hari.
Ia pikir masih layak. Dengan penuh semangat Mila merasa menjadi guru tuntas
menjalankan home visit. Alhamdulillah Allah izinkan bisa 100%. Selain sudah
menjadi program sekolah, Mila ingin berbuat adil dan rata kepada semua
muridnya.
Seperti
malam itu, bersama Tia ia dengan penuh semangat di atas becak. Waktu itu ia
berumur 8 tahun. Bahkan, tiupan angin malam itu seakan ikut bersuka ria
mengantarkan kepergiannya home visit terakhir.
Setelah
pintu dibuka, seorang asisten rumah tangga menyilakan Mila masuk rumah dan
duduk. Rumah yang besar dan luas. Lumayan lama tuan rumah keluar
menemuinya. Meskipun sudah ada minuman
dan camilan di atas meja, Mila belum selera untuk menyantapnya. Perasaannya
belum nyaman sebelum menjumpai Bunda Risa.
Satu
dua obrolan berjalan wajar. Mila menceritakan kondisi Risa di sekolah dan
berharap ada cerita sebaliknya kondisi Risa di rumah.
“Bu
Mila, tujuan home visit itu apa? Mengapa berkunjung di rumah saya sudah mau
ujian nasional?” kata Bunda Risa tiba-tiba. Mendadak Mila terpaku seperti
banyak bambu yang menancap di setiap sisi tubuhnya. Ia bagaikan terkurung tidak
bisa berkutik. “Besok sepekan terakhir Risa masuk hanya tunggal ujian nasional,
manfaat Ibu Guru home visit malam ini sudah tidak ada. Kalau Bu Mila datang dari
dulu, Bu Mila bisa memperbaiki dari kekurangan Risa yang saya sampaikan. Betul
tidak?” tambah Bunda Risa.
“Iya,
Bunda. Maafkan.” Mila tidak punya banyak alasan untuk menjawabnya. Ucapan Bunda
Risa sangat benar. Apalagi, pertemuan wali kelas dan orang tua di sekolah hanya
saat orientasi, penerimaan rapor, atau kalau ada undangan parenting. Walaupun
sebenarnya selain lewat telepon, komunikasi dengan orang tua didukung dengan
buku amal yaumi. Sepekan di sekolah, sepekan di rumah. Pernah juga sehari diisi
wali kelas, dibawa pulang, besok dibawa ke sekolah lagi.
Mila pikir
memang bukan untuk dijelaskan alasan kedatangannya di ujung waktu. Pandangannya
sudah kabur, bahkan gelap. Tubuhnya serasa berat dan kaku menempel di kursi. Hidangan
yang semula sangat menggiurkan, mendadak tidak menarik sama sekali. Hanya
sepotong kue dia ambil dan disodorkan ke Tia. “Cepetan Dik, ayo kita pulang!”
bisiknya dalam hati.
Mila
kuat-kuatkan hatinya untuk mengangkat muka. Ia kerahkan tenaganya untuk bisa
berucap kata dan akhirnya ia pamitan kepada tuan rumah. Di luar langit
menghitam seakan ikut merasakan suasana hati Mila. Rintik hujan mengantarkan
kepulangannya dari rumah megah itu. Pagar besi tinggi dan besar terbuka lebar
seakan turut mengejeknya, “Sudahlah, pulang saja sana!” Makin besar sesuatu
yang menggumpal dalam hatinya. Entah apa sesuatu yang sepertinya hampir
meledak.
Di
dalam becak yang tadi mengantarnya, dia peluk Tia. Degup jantung yang makin
kencang tidak pula dirasakan Tia. Canda ria waktu berangkat, kini tidak berlaku
lagi. Mila ingin segera sampai rumah. Ya, rumah kosong karena penghuninya hanya
berdua dan sekarang masih di dalam becak. Itulah mengapa Mila bingung ingin
menumpahkan kegundahannya kepada siapa. Ada asisten rumah tangga pun sedang
pulang kampung, sedangkan suamiya kerja di luar kota. Mila dekap Tia makin erat
seiring berjatuhannya buliran bening dari sudut matanya.
Kembali
di kamar sebuah rumah sederhana. Suara bel dari jam dinding bertalu-talu. Bunyi
terakhir yang kesebelas barulah menyadarkan Mila dari lamunannya.
“Astaghfirullah….
Besok masuk, jangan sampai bangun telat!” ucap Mila dalam keterkejutannya. Ia
bersegera menyusul Tia tidur. Segera ia mengganti cahaya kamar dengan lampu 5
watt. Tak lupa ia memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan dan keselamatan
dunia akhirat.
Dinding
rumahnya yang separo tembok separo papan, deretan genteng yang tampak dari tempat
ia merebahkan tubuhnya, juga barisan buku dan lemari baju di kamarnya menjadi saksi.
Malam itu lelah sudah Mila menghapus air matanya. Namun, malam itu Mila
menuliskan tebal-tebal sebuah catatan dalam sudut hati kecilnya. Catatan yang
tidak akan dia hapus sampai kapan pun. Catatan sebuah janji untuk tidak akan
home visit lagi. Tidak home visit lagi di ujung waktu.
Sejak saat itu, Alhamdulillah
Allah ringankan tenaga dan kesempatan untuknya bisa home visit 100%, setidaknya
tengah semester 2 sudah tuntas. Sejak ada tugas home visit untuk wali kelas,
Mila hanya satu kali tidak mencapai 100% lantaran covid 19.
Apalagi dengan adanya grup
WA dan aneka medsos, komunikasi dengan orang tua bisa dia optimalkan. Salah
satu contoh, meskipun undangan pengambilan rapor atau pertemuan lainnya sudah
dibagikan secara digital di grup orang tua, Mila selalu menghubungi japri
semua orang tua pada malam sebelumnya. Hal ini untuk silaturahmi dan mengingatkan.*
Purwokerto, 6 Juli 2024


Luar biasa.
BalasHapusTerima kasih ...
HapusMantabs...
BalasHapusTerima kasih, Bu.....
Hapus