Deru motor
memasuki halaman rumah ditemani derasnya hujan yang mengguyur bumi. Meskipun
sudah memakai mantel dan kerudung, tubuh Ayun masih terkena air hujan. Ini hal
biasa baginya, yang penting kertas dan isi tas lainnya masih kering.
“Ibu
pulang!” teriak Hanif menyambut ibunya. Tubuh kecil itu persis di depan pintu
siap minta ditangkap. Ia tidak sabar mendapatkan pelukan seorang ibu yang sudah
dirindukannya sejak pagi.
“Sudah azan
magrib, ibu baru pulang?” pertanyaan retoris yang anak 10 tahun lontarkan ini
senada hampir setiap hari.
“Iya, Nak.
Di sekolah ibu ada pekerjaan tambahan,” jawab Ayun sambil melepas mantel. “Adik
di mana, Mas Hanif?” lanjutnya.
“Adik sama
eyang, Bu,” jawab Hanif bersamaan mengulurkan tangannya menyalami Ayun. Tubuh
jagoan anak pertama yang mulai gempal itu mendekap erat tubuh ibunya itu
meskipun basah.
“Sudah
gelap begini, baru masuk rumah, Yun? Di jalan lancar, Yun?” tanya ibu, eyangnya
Hanif.
“Alhamdulillah,
aman, Bu,” jawab Ayun yang seorang guru SMP swasta ini sembari mencium tangan
ibunya. Ayun usap pundak ibunya kemudian berlalu.
“Mandi air
hangat, sudah ibu siapkan. Tidak usah menggendong Kamila dulu,” pinta sang ibu
dengan tubuh kecil, anak kedua Ayun yang masih menempel di perutnya. Dengan
kain gendongan, Kamila, anak kedua Ayun yang masih 9 bulan ini belum memahami
aktivitas ibunya.
“Nggih,
Bu. Matur nuwun.”
Tubuh lelah
itu kini kembali bugar oleh siraman air hangat. Ayun bersyukur memiliki ibu
yang sangat sabar dan penyayang. Orang tua yang tinggal satu-satunya ini Ayun
perjuangkan agar tidak pernah terluka hatinya.
Menuju
kamar, Ayun teringat masa-masa dulu berangkat kerja dengan minibus. Dari
Cilongok, Ayun menyusuri jalanan dengan bus disambung angkot atau angkutan
kota. Hal ini dijalankan karena Ayun tidak bisa naik motor. Sementara suami
Ayun harus bekerja secara LDR di Bandung. Perjalanan PP ini tidak sebentar
karena Ayun keluar rumah pukul 05.30 dan sampai sekolah tidak boleh lebih dari pukul
06.45. Di luar kuasa Ayun, terlambat masuk kerja sudah pasti itu menjadi risiko
yang mau tidak mau harus diantisipasinya. Biasanya bus atau angkot pun harus menunggu
tambahan penumpang dan Ayun harus berdamai dengan situasi pilihannya itu karena
ia juga memahami bahwa sang sopir juga butuh penghasilan untuk keluarga mereka
di rumah.
“Kamu tidak
lelah kerja setiap hari pulang pergi. Jarak jauh begini, Dik?” tanya suami di
sela-sela obrolan mereka. Kenangan obrolan yang biasa dinikmati Ayun dua pekan
sekali ketika suaminya jatah pulang rumah. Terkadang juga hanya ngobrol di WA.
“Nggak papa
kok, Mas. Aku sudah nyaman bekerja di sana. Mas doakan saja semua lancar,”
jawab Ayun meyakinkan pria gagah pujaan hatinya itu.
Saat
menuntaskan menyisir rambutnya, Ayun pun ingat obrolannya dengan Mira, teman
guru yang sama-sama mengajar di level 9.
“Bu, maaf.
Daripada LDR ‘Segitiga’, njenengan dan suami sama-sama bekerja jauh dari
anak, mengapa tidak salah satu saja? Maksud saya, mungkin lebih baik bila Bu
Ayun kos mengajak anak ke sini, dekat sekolah. Bisa kami bantu mencarikan
asisten rumah tangga. Atau si Kecil dibawa ke penitipan anak.” Ucapan Mira dibenarkan
Ayu dalam hati. Ayah jauh, ibu jauh, anak-anak hanya sebentar bertemu orang
tuanya. Bisa dikatakan, banyak ongkos juga untuk perjalanan.
“Ibuku
ingin menjaga sendiri cucu-cucunya. Daripada dijaga orang lain.” Jawaban Ayun
menunjukkan bahwa bakti pada orang tuanya lebih dia utamakan. Dia rela
perjalanan jauh setiap hari. Selain itu, faktor dari dalam Ayun sendiri yang
belum siap.
“Bu, saya
numpang bonceng, ya. Saya tunggu di pertigaan dekat pom bensin seperti biasa.
Saya turun dari bus kesiangan.” Salah satu pesan WA Ayun kepada Lami, teman
guru lainnya. Tidak jarang Ayun mendapatkan jawaban setelah jam di tangannya
menunjukkan pukul 7 lebih, “Maaf, Bu Ayun, tadi saya buru-buru tidak membuka
HP.” Ini artinya, Ayun terlambat lagi dan harus lapor ke yayasan.
Sepatutnya
dia memang naik motor untuk perjalanan PP-nya itu. Namun, trauma jatuh dari
motor menghantuinya setiap ada niat mau latihan. Kemauannya belum bisa
menaklukkan perasaan itu. Ditambah lagi, ibunya belum merelakan Ayun naik motor
karena pernah di depan mata sendiri, ibu Ayun melihatnya terjatuh dari motor
saat hendak masuk rumah. Lengkap sudah. Keterampilan bermotor semakin jauh.
Entah angin
apa yang membawanya bertekad untuk kini bisa membawa sendiri motor dari rumah.
Motor Beat dari suaminya yang masih baru itu selalu melambai-lambai
untuk ikut diajak ke sekolah.
“Dik, motor
baru itu sudah dua tahun nganggur. Kamu ingat gak, lima bulan lalu? Biaya
servis tidak sedikit hanya gara-gara motor selalu kedinginan. Kalau tidak
dipakai, dijual saja!” Rupanya ada gertakan dari suami agar Ayun berubah
pikiran.
Pikiran Ayun
mengembara mengingat tuntutan pekerjaan yang sering memaksanya pulang selepas
magrib atau minimal mepet magrib. Ini artinya ia tidak hanya bisa mengandalkan
kendaraan umum. Pikiran lainnya berebut muncul dalam benak Ayun. Kini
giliran wajah-wajah tidak berdosa, dua malaikat kecil dalam rumah tangganya.
Bila waktu habis di jalan, mereka mendapatkan kasih sayang Ayun hanya berapa
persen dari 24 jam sehari? Bisa saja sampai rumah ia mendapati anaknya sudah
terlelap kembali.
Sampai pada
suatu sore.
“Hore,
akhirnya…!” histeria teman-teman guru pada jam kepulangan. Mira kebingungan
mendengarnya. Saat menoleh, ia baru sadar dengan pemandangan baru.
“Alhamdulillah,
Bu Ayun naik motor sendiri?” Guru-guru lainnya mengiyakan. “Iya, itu makanya ia
minta tolong Pak Afif mengawal di belakangnya,” kata Lami. Untung ada Pak Afif,
teman guru yang sejalur Bu Ayun. Meskipun sejalur, sudah ketentuan dari yayasan
bahwa bapak dan ibu guru memang harus naik motor sendiri-sendiri, tidak boleh
berboncengan. Pak Afif mengawal Bu Ayun walau hanya satu dua kali dan sangat
berarti untuk membangun kepercayaan diri Ayun.
Awalnya
Ayun naik motor setengah jalan dari rumah ke Kalibogor. Setelah ia titipkan
sepeda motornya, ia bersambung naik angkot oranye juga untuk pulangnya. Pilihan
ini didasari pertimbangan jalan yang dilalui adalah jalan provinsi, jelas
banyak kendaraan yang berlalu dengan cepat. Apalagi kalau Ayun berpapasan atau
disalip bus dan truk bermuatan yang berukuran besar dan tinggi. Ini tantangan
luar biasa bagi Ayun mengingat Ayun tergolong berpostur badan sedang. Kedua
kakinya juga kurang lincah menjangkau aspal.
Pernah
langit petang begitu pekat. Tepat pukul 16.00 semua SDM sudah berhamburan
menuju tempat parkir setelah memastikan absen pulang terekam secara digital.
Begitu juga Ayun. Sebagian sudah langsung mengenakan mantel atau jas hujan.
Sebagian yang lain masih bersabar tanpa mantel meskipun air hujan di langit
sudah mengintip ingin segera tumpah mencumbui bumi.
Hal-hal
kekhawatiran yang muncul di benak Ayun bila yang hadir adalah wajah kedua
anaknya, ia libas semua seakan ingin lebih cepat lagi melajukan motornya.
Pernah, Ayun berangkat dengan berjanji kepada anaknya untuk pulang lebih awal.
Ayun dan kedua anaknya akan membaca buku dongeng bersama. Namun, di luar
kuasanya, ada saja tambahan tugas sampai petang. Karena hal inilah, Ayun
menguatkan tekad untuk naik motor sekali jalan sampai rumah. Tentu Ayun akan
menghemat waktu lebih banyak sehingga bisa lebih cepat sampai rumah.
“Bu Ayun,
tadi kehujanan sudah sampai mana?” tanya Bu Lami ikut peduli.
“Selepas
Monumen Jenderal Soedirman,” jawab Ayun. Kadang juga Lami bertanya hal lain
yang menurutnya ada hal unik. Pernah Ayun berani berangkat kesiangan. Padahal,
menjelang siang, jalanan pasti semakin padat dan mirip arena sirkuit. Tidak
jarang pengguna jalan mendadak buta warna. Lupa membedakan warna lampu lalu
lintas, terus saja melaju. Ternyata ada hal yang lebih parah. Ayun pernah
hampir masuk jurang saat melintasi jalan menikung.
Bayangan
lain hadir mengingatkan Ayun pada masa-masa awal naik motor. Selepas dari
gerbang sekolah, angin petang mulai menyapanya. Dalam sudut matanya,
gedung-gedung tinggi mendekat dari arah depan begitu cepat kemudian berlarian
pergi. Disambut pohon-pohon yang menjulang juga berlarian mendekat terus
menjauh dan hilang di sudut matanya. Lambaian daun-daun seakan
dikibas-kibaskan. Layaknya sambil bersorak ,pohon-pohon itu memberikan semangat
juga selamat atas keberhasilan Ayun naik motor.
“Yun,
Kamila nangis,” panggilan ibu membuyarkan lamunan Ayun. Ia segera keluar kamar.
“Alhamdulillah
kamu sudah lancar naik motor, Yun?” Ini pertanyaan ibu yang sepertinya
tersimpan dalam hatinya sejak tiga bulan lalu begitu Ayun berani naik motor.
“Alhamdulillah
sudah, Bu.”
“Syukurlah,
ibu lega mendengarnya. Besok lagi diusahakan pulang jangan mepet magrib, ya!”
pesan ibu seraya menyodorkan Kamila dari gendongannya. Ayun mengangguk dan
memahami pesan ibunya. Sejauh ini, Ayun bersyukur dengan keberaniannya untuk
mengakhiri petualangan kencan dengan bus dan angkot setiap hari. Ia bersyukur
bisa mengalahkan rasa takutnya demi lebih cepat sampai rumah. Demi segera bisa
memeluk buah hatinya.
“Meskipun aku
dan suami jauh dari anak, aku yakin kami bisa menjalin komunikasi dengan
anak-anak kami. Insyaallah, Allah akan menolong kami,” bisik Ayun menutup malam
itu.*


Posting Komentar