Haji dan Umrah

 


“Assalamualaikum, Pak Marno,” ucap Nur di depan rumah Pak Marno, guru SMA yang dulu mengajarkan pelajaran PAI. Melihat Pak Marno sudah di depan mata, senyum haru Nur terus mengambang. Ibarat boleh bersentuhan, tentu Nur sudah berlari mendekap dan menciumi tangan sosok guru yang sangat berjasa ini. Banyak ilmu yang ia dapatkan dari Pak Marno, khususnya bekal ilmu dalam menjalin hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya.

“Waalaikumsalam, siapa ya? Nur bukan?”

“Nggih, Pak. Leres. Ini Nur.”

“Nur. Ada angin apa kamu datang ke sini? Sama suami? Sini masuk!”

“Ingin silaturahmi saja, Pak. Saya dan suami pas sepekan lalu ngobrol, pingin banget sowan ke sini.” Suasana akrab tengah berlangsung antara murid dan guru yang sudah lama tidak berjumpa. Nur, murid pintar itu tentu memberi kesan tersendiri di mata semua guru. Selain pintar, Nur juga sopan dan ramah. Ia mudah bergaul dengan teman juga guru.

“Sudah haji belum?” tanya Pak Marno tiba-tiba setelah obrolan hampir 40 menit.

“Dereng, Pak. Mboten gadah sangu,” jawab Nur tersipu. “Tidak cukup uang untuk berangkat haji, Pak,” tambahnya.

“Kamu bisa nyicil motor, sudah lunas, kan? Pasti kamu juga bisa bayar haji. Sana segera mendaftar, insyaallah ada sangu. Niat dulu untuk idabah di tanah suci. Percaya aku, Allah akan ngatur dari mana sangumu, ra usah kuwatir! Kamu tidak perlu khawatir,” desak Pak Marno meyakinkan.

Ucapan Pak Marno terngiang-ngiang di kuping Nur. Setengah tidak percaya bahwa dukungan dari Pak Marno sangat kuat bagai  api yang terus membara menyulut keinginan Nur untuk mendaftar haji.

Sampai di rumah, Nur dan suami segera ngobrol serius. Ia kumpulkan uang yang ada untuk besok mendaftar haji.

Bismillahirrahmanirrahim, semoga ada jalan sampai waktunya kita berangkat ya, Yah,” kata Nur kepada suaminya.

Alhamdulillah tahun 2005 Nur mendaftar. Karena antrean haji tidak padat, Nur dan suami akan berangkat tahun 2006. Padahal, uang Nur belum cukup. Doa menjadi andalan mereka. Dalam setiap kesempatan, mereka memohon bantuan dan perrtolongan kepada Allah. 

Awal Januari, Nur ke rumah orang tuanya. Silaturahmi biasa, apalagi jarak rumah orang tuanya tidak perlu menyeberang kota, kabupaten, hutan, apalagi lautan.

“Nur, aku baru saja menjual tanah, ini uang bisa untuk tambah bekal naik haji,”  ucap bapaknya Nur. Bagaikan ujung panah yanag menembus titik tengah sasaran, teriakan histeris kesyukuran dalam hati Nur tidak tergambarkan. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Mahabesar. Ini jalan yang Allah tunjukkan, nyata sudah.

Saestu, Pak. Niki bener sangu kagem Nur haji?” tanya Nur tidak percaya.

“Kenapa, ora percaya, Nur?”

Nur memeluk bapak dengan berurai air matanya. Setelah itu memeluk ibu kemudian suaminya.

“Kita berangkat tahun ini, Nur,” ucap suami Nur saat menerima pelukan Nur. Nur dan suami pulang dengan berbunga-bunga. Haru biru dan syukur berbaur memiliki orang tua yang sangat mendukung cita-cita Nur.

“Yah, jadwal kita berangkat sebentar lagi. Punggung Nur masih sakit,” keluh Nur kepada suaminya. Nur merasakan keluhan sakit beberapa bulan sebelumnya. Namun semangatnya untuk memenuhi panggilan Allah menjadikan penyakitnya kalah, tidak menjadi gangguan.

“Kita konsultasi ke dokter ya, Nur. Nanti malam aku antar,” jawab suami Nur dengan semangat memberikan dukungan. Alhamdulillah, dokter memberikan solusi dengan menyarankan Nur menggunakan korset yang terdapat pelat baja di bagian punggung.

Sampai tiba saatnya pelaksanaan ibadah haji Nur dan suaminya. Perjalanan ibadah dimulai dari meninggalkan Purwokerto, kemudian meninggalkan Indonesia. Semua lancar. Alhamdulillah 40 hari di tanah suci tidak terlalu bermasalah dengan kondisi punggung Nur. Nur paham diri sehingga membatasi tidak banyak berkegiatan keluar kecuali untuk ibadah dan kegiatan resmi bersama rombongan.

Selain karena untuk menjaga kondisi badan sendiri, Nur berada dalam satu rombongan dengan Pakde dan Bude yang kondisinya sudah tua. Bahkan, ditambah satu teman lagi dalam satu rombongan yang juga sudah sepuh, pensiunan TNI. Nur mendapatkan amanah untuk mendampingi mereka.

Hal yang sangat berkesan bagi Nur saat hendak berangkat ke Mina. Dari KBIH  Muhammadiyah,  waktu itu setelah tarwiyah atau mabit di Mina, pagi harinya, mereka berangkat ke Arafah menggunakan bus. Di Arafah sampai magrib. Setelah magrib, dari Arafah rombongan berangkat ke Muzdalifah.

“Yah, ini dari Muzdalifah harusnya kita ke Jumrotul Aqabah,” bisik Nur kepada suami.

“Kita tunggu dulu, sabar, Nur!”

Berhubung prediksi puncak haji itu hari Sabtu, ternyata diajukan pada hari Jumat secara perhitungan. Ini artinya penduduk Arab Saudi diizinkan untuk berhaji tanpa harus ada perizinan resmi ke pemerintahan. Haji tahun 2006 adalah haji akbar.

“Berarti penduduk Mekah keluar semua, Yah. Ini akan sangat padat,” tambah Nur.

Ternyata benar. Di mana-mana jalanan macet. Macet total. Jamaah tumpah ruah berbaur dari seluruh penjuru. Dengan melihat kondisi seperti ini, perjalanan dari Muzdalifah ke Aqabah batal. KBIH mengambil keputusan untuk ke Mekah yang lebih longgar. Di Mekah, jamaah akan melakukan tawaf ifadah.

“Alhamdulillah ada hikmahnya, Nur. Kita bisa mengikuti salat Idul Adha di Masjidil Haram,” kata suami Nur.

“Jangan lupa, setelah salat zuhur kita harus langsung prepare lagi untuk berangkat ke Mina  karena memang harus Mabit di sana. Ini tanggal 10, jamaah harus lempar jumroh aqabah,” kata ketua rombongan dalam bus. Jamaah menggunakan bus. Qadarullah macet total. Benar-benar macet sehingga bus tidak bisa bergerak.

“Yah, kita harus lempar jumroh  tanggal 10. Kalau berhenti di sini, kita mau sampai di Mina jam berapa? Ini sudah mepet,” desak Nur yang mulai panik.

“Terus bagaimana, Nur?

“Kita jalan saja, Yah.” Nur segera meminta izin kepada petugas KBIH. Sebenarnya dilarang, sopir juga melarang. Namun, karena Nur kuat kemauan dan memaksa minta turun. Nur mencoba memberikan jawaban secara detail. Bila sampai tujuan sudah melebihi magrib, berarti kehilangan satu kali kesempatan lempar jumroh yang harus dilakukan tanggal 10. Padahal, ini salah satu rukun haji.

Akhirnya, Nur dan suami turun dari bus. Mereka ingin segera sampai tujuan untuk lempar jumrah, sedangkan jamaah lain masih berada di dalam bus. Tampak Nur yang bertubuh kecil kerepotan mengikuti langkah suami yang berbadan tinggi.

Entah meraka akan berjalan berapa kilo dan berapa jam. Bahkan, mereka tidak tahu arah jalan. Yang mereka miliki hanyalah keyakinan bahwa Allah akan menunjukkan jalan ke jamarat. Di sana orang-orang hanya akan menuju satu tujuan, yaitu jamarat.

“Ayah, ada Askar. Itu ada polisi. Kita tanya dulu,” suara Nur menghentikan langkah mereka. “Aina Jamarat?”

Tariq!” jawab Askar terus menunjukkan arah agar Nur jalan terus, lurus. Dan sampailah mereka di satu titik. Mereka bertemu dengan seorang laki-laki sepuh. Setelah mereka ngobrol, diketahui bahwa orang itu dari Qatar.

“Mau ke mana?“ katanya. Nur menjawab mau ke Jamarat untuk lempar jumroh aqabah. “Hayya!” katanya. “Mari ikut saya!” Nur dan suami segera mengikutinya.

 Tidak disangka, orang itu malah mengantarkan sendiri. Langkah kakinya cepat sekali. Nur terpaksa harus berlari-lari kecil untuk mengikuti jalannya.

Haza, jamarat, toriq! Itu jamarat, terus saja!”

“Ayah, benar. Kita sudah sampai. Itu terowongan. Kita sudah dekat. Ya, ini benar jalan menuju jamarat. Alhamdulillah,” sorak Nur. “Benar, Yah. Saya sudah paham dengan terowongan ini karena sebelumnya kita tinggal di Mina semalam, tanggal 8,” tambahnya.

Alhamdulillah, mereka sampai di Aqabah masih tanggal 10. Karena kalau secara urutan, jamaah seharusnya dari Musdalifah ke Aqabah dulu baru Mekah untuk tawaf ifadoh, sai, dan tahalul. Adapun, jamaah Nur, terpaksa tawaf ifadoh terlebih dahulu karena keadaan.

“Maaf Pakde, Bude. Kami terpaksa meninggalkan kalian karena situasi yang tidak memungkinkan,” bisik Nur dalam hati dengan meneteskan air mata. Antara haru dan sedih, Nur bisa memenuhi ibadah lempar jumrah aqabah, tetapi dengan meninggalkan orang-orang yang semestinya mereka temani.

Keputusan Nur benar. Rombongan yang lain baru sampai di tenda pukul 9 malam. Sedangkan jarak tenda ke jamarat sekitar 3,5 km.  Allahu Akbar, ini pengalaman yang sangat berkesan bagi Nur dalam memperjuangkan sampai di jamarat sebelum waktu magrib.

Ibadah haji tahun-tahun itu, jamaah memenuhi sendiri urusan makan sehari-hari. Namun, saat di Mina, Arafah, dan di Madinah, jamaah akan mendapatkan jatah makan katering dari pemerintah Indonesia. Ternyata tahun 2006 rombongan Nur tidak mendapatkan makan ketika di Arafah dan Mina. Jadi, dari tanggal 9 sampai 12 itu, jatah katering mereka tidak datang. Atas kebaikan dari pihak Saudi, setiap magtab memang diwajibkan untuk memberikan makanan ala kadarnya kepada jamaah haji.

Untuk tenda jamaah rombongan Nur di kloter 306, sehari kadang dua kali kadang satu kali mendapatkan kotak makanan. Makanan dalam kotak itu berisi buah dan roti, tetapi tidak sejumlah jamaah. Mereka harus berbagi. Nur kadang mendapatkan buah kadang juga roti. Kondisi seperti ini mereka alami dari tanggal 9 sampai 12.

“Ya Allah, masa iya kami tidak pernah melihat nasi? Rasanya pengin sekali kami makan nasi walaupun nasi tanpa lauk,” kata satu orang yang ditimpali dan diiyakan jamaah lainnya. Mereka masih sanggup bercanda meskipun menahan lapar. Lapar makan nasi maksudnya. Sebenarnya tidak kelaparan juga karena ada makanan yang masuk perut. Namun, bukankah orang Indonesia kalau belum makan nasi dianggap belum makan?

Qadarullah, tanggal 12 siang, mereka mendapatkan jatah satu orang satu box aluminium foil.

“Masyaallah, kita mendapatkan nasi. Alhamdulillah,“ sorak syukur jamaah, juga Nur dan suami.

“Lah, ini nasi doang? Bener-bener nasi tok!“ tawa mereka meledak antara heran dan bahagia.

Melihat pemandangan itu, Pak Ahmad selaku ketua kloter angkat bicara, ”Alhamdulillah ini sudah diijabah doa panjenengan semua. Diijabah oleh Gusti Allah. Kemarin, Ibu Bapak menyampaikan ingin makan nasi. Ini sudah dikasih dan kemarin juga diucapkan walaupun nasi saja. Nah, ini juga sudah persis, nasi doang yang dikirimkan.”

“Haha….” Semua orang dalam satu tenda yang juga satu kloter itu gembira karena mendapatkan nasi. Namun, tidak kuat menahan tawa karena melihat nasi yang diterima benar-benar hanya nasi tanpa lauk. Bahagia, haru, dan lucu karena mengingat doa mereka terlalu merendah alias polos.

“Setelah kita makan, siang ini sebelum zuhur kita akan lempar jumrah yang terakhir. Kemudian nanti kita pulang ke Mekah, tidak boleh ada yang tinggal karena pihak maktab sudah tidak akan memberikan makanan,” pesan Ustaz Ahmad.

 

Alhamdulillah, Allah berikan kemudahan untuk Nur bersama suami dalam menjalankan rukun Islam ke-5 di tanah suci. Bahkan doa-doa Nur diijabah Allah. Ketika di depan Kakbah, Nur selalu berdoa agar dimudahkan kembali beribadah di tanah suci.  Berapa tahun kemudian Nur mendaftar umrah. Bahkan, Nur Kembali umrah pada tahun 2013, 2018, 2022, dan 2023

Dalam ibadah umrah 2023, Nur menjadi salah satu yang menerima hadiah umrah dari Yayasan. Nur pun mengajak suami dan kakak sepupunya. Total jamaah adalah 9 jamaah putri dan 7 jamaah putra. Nur menjadi pemandu bagi jamaah putri. *

 

 

 

Posting Komentar